Sada memeluk Jani dengan erat. Tubuh Jani bergetar, tangisnya tumpah tak tertahan. Nafasnya sesak, terdengar kata-kata yang keluar dari mulutnya terbata-bata. Dalam hati Sada, semua permohonan maaf sudah dia berikan untuk Jani, namun logikanya tetap menolak dengan keras.
Pengakuan Jani mengenai Biru seolah meruntuhkan tembok pertahanan hidupnya. Bagaimana bisa selama ini wanita yang dijaganya selama 5 tahun mampu berpaling sebegitu hebatnya, bermain hati, emosi, dan dengan sadar memberikan perasaan untuk laki-laki lain?
Bagaimana bisa selama ini kepercayaan yang diberikannya ternodai begitu saja hanya melalui pertemuan yang amat singkat ?
Bagaimana bisa 5 tahun ini seolah tak berarti apa apa untuk Jani ???
Banyak tanya yang melintasi pikirannya, ingin rasanya Sada membalas kekecewaannya kepada Jani, namun ia tak bisa.
Baginya Jani bukan hanya kekasih (seperti status yang orang lain tau selama ini), tapi lebih dari itu. Jani sudah terlalu dalam memasuki hidupnya.
“Jan, buat nyentuh kamu aja aku hati-hati banget. Aku gak mau sampe kamu ngerasa gak nyaman. Aku selalu nanya, kalo aku gini kamu gimana, kalo aku gini kamu marah gak?”
“Tapi dia, dia yang baru kamu kenal 1 bulan, dia yang gak paham keluarga kamu, dia yang orang baru, bisa bisanya kamu dengan pasrah ngasih semuanya ke dia?”
“Apa aku gak kebayang sama sekali Jan di dalam pikiran kamu, waktu kamu lagi sama dia?”
“dan saat kamu chat atau bahkan nelpon aku setelah kamu sama dia, apa yang kamu rasain ??”
Semua pertanyaan Sada bagaikan bola besar yang mendorong Jani ke sebuah sudut ruangan, yang membuat dia terperangkap, dan tak mampu mengelak. Jani hanya bisa menangis, tak sanggup dia memandang wajah Sada apalagi menatap matanya. Yang bisa ia katakan hanyalah maaf dan maaf. Hatinya sudah terlanjur mencintai Biru. Jani pun sulit untuk menjelaskan kenapa hatinya bisa berbalik dan berpaling sebegitu kuatnya dari Sada.
“Sad aku minta maaf, aku ga tau mesti jelasin apa. Aku juga gak tau kenapa aku bisa jatuh cinta sama Biru saat aku masih sama kamu. Aku gak bisa bilang apa apa Sad, aku minta maaf”
Jani berlutut di hadapan Sada, wajahnya ditutup dengan kedua tangannya
“Aku sama sekali gak bermaksud jadi orang jahat, aku sama sekali gada niat untuk jadi sembilu yang memisahkan ikatan hubungan siapapun. Aku hanya ingin bahagia, dan aku bahagia saat aku sama Biru. Aku juga ingin tanya sama Tuhan kenapa saat itu Tuhan menggerakkan Biru untuk membeli lukisan itu. Itu awal dari semua ini, dan bukankah itu takdir Tuhan juga??”
“Semua orang menghakimi seolah aku telah membunuh kebehagiaan hidup orang lain. Tapi apa terlintas dalam pikiran mereka, bahwa hidupku pun hancur ??”
“Kalian salah, Jan. Kamu membela diri sekuat apapun juga tetap salah. Dia itu fatamorgana . Mau sebesar apapun kebahagiaan yang kamu rasain saat kamu sama dia, tetap saja semu dan salah”
Jani berdiri, jarinya mengusap air mata yang sedari tadi mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang terasa sesak. Sambil berjalan mundur dan berbalik dari hadapan Sada, Jani berkata. . . .
“Biru bukanlah kesalahan, Dia adalah kebahagiaanku yang nyata dan tidak disengaja.”
Pengakuan Jani mengenai Biru seolah meruntuhkan tembok pertahanan hidupnya. Bagaimana bisa selama ini wanita yang dijaganya selama 5 tahun mampu berpaling sebegitu hebatnya, bermain hati, emosi, dan dengan sadar memberikan perasaan untuk laki-laki lain?
Bagaimana bisa selama ini kepercayaan yang diberikannya ternodai begitu saja hanya melalui pertemuan yang amat singkat ?
Bagaimana bisa 5 tahun ini seolah tak berarti apa apa untuk Jani ???
Banyak tanya yang melintasi pikirannya, ingin rasanya Sada membalas kekecewaannya kepada Jani, namun ia tak bisa.
Baginya Jani bukan hanya kekasih (seperti status yang orang lain tau selama ini), tapi lebih dari itu. Jani sudah terlalu dalam memasuki hidupnya.
“Jan, buat nyentuh kamu aja aku hati-hati banget. Aku gak mau sampe kamu ngerasa gak nyaman. Aku selalu nanya, kalo aku gini kamu gimana, kalo aku gini kamu marah gak?”
“Tapi dia, dia yang baru kamu kenal 1 bulan, dia yang gak paham keluarga kamu, dia yang orang baru, bisa bisanya kamu dengan pasrah ngasih semuanya ke dia?”
“Apa aku gak kebayang sama sekali Jan di dalam pikiran kamu, waktu kamu lagi sama dia?”
“dan saat kamu chat atau bahkan nelpon aku setelah kamu sama dia, apa yang kamu rasain ??”
Semua pertanyaan Sada bagaikan bola besar yang mendorong Jani ke sebuah sudut ruangan, yang membuat dia terperangkap, dan tak mampu mengelak. Jani hanya bisa menangis, tak sanggup dia memandang wajah Sada apalagi menatap matanya. Yang bisa ia katakan hanyalah maaf dan maaf. Hatinya sudah terlanjur mencintai Biru. Jani pun sulit untuk menjelaskan kenapa hatinya bisa berbalik dan berpaling sebegitu kuatnya dari Sada.
“Sad aku minta maaf, aku ga tau mesti jelasin apa. Aku juga gak tau kenapa aku bisa jatuh cinta sama Biru saat aku masih sama kamu. Aku gak bisa bilang apa apa Sad, aku minta maaf”
Jani berlutut di hadapan Sada, wajahnya ditutup dengan kedua tangannya
“Aku sama sekali gak bermaksud jadi orang jahat, aku sama sekali gada niat untuk jadi sembilu yang memisahkan ikatan hubungan siapapun. Aku hanya ingin bahagia, dan aku bahagia saat aku sama Biru. Aku juga ingin tanya sama Tuhan kenapa saat itu Tuhan menggerakkan Biru untuk membeli lukisan itu. Itu awal dari semua ini, dan bukankah itu takdir Tuhan juga??”
“Semua orang menghakimi seolah aku telah membunuh kebehagiaan hidup orang lain. Tapi apa terlintas dalam pikiran mereka, bahwa hidupku pun hancur ??”
“Kalian salah, Jan. Kamu membela diri sekuat apapun juga tetap salah. Dia itu fatamorgana . Mau sebesar apapun kebahagiaan yang kamu rasain saat kamu sama dia, tetap saja semu dan salah”
Jani berdiri, jarinya mengusap air mata yang sedari tadi mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang terasa sesak. Sambil berjalan mundur dan berbalik dari hadapan Sada, Jani berkata. . . .
“Biru bukanlah kesalahan, Dia adalah kebahagiaanku yang nyata dan tidak disengaja.”
Komentar
Posting Komentar